Download Movies Free Muse Drones World Tour (2018)
Liam Gallagher pernah menyatakan ketidaksukaan terhadap gimmick dalam konser, yang menurutnya, “it’s all about the music”. Kali ini saya tidak setuju. Konser, ibarat film, yaitu soal pengalaman (experience), yang berarti, bisa menyentuh mata, telinga, gres turun ke hati. Muse, bersama Coldplay dan U2, yaitu satu dari sedikit grup band rock yang masih eksis, yang sanggup menggabungkan lagu-lagu anthemic pemecah kehebohan stadion dengan pernak-pernik pemuas mata di tiap pertunjukan. Konser mereka, khususnya Muse, memang cinematic. Because when they’re on stage and start playing, they can make the audience go ma-ma-ma-ma-ma-ma-ma-ma mad mad mad!
Saya bukan penggemar Muse, meski lucunya, jikalau diminta menyusun daftar musik favorit, nomor-nomor macam Supermassive Black Hole, Uprising, hingga Knight of Cydonia bakal muncul. Karena selain wacana aransemen, ada energi tinggi, yang gampang memancing pendengarnya bukan cuma bersenandung, namun berteriak lantang, “They will not control us!”, sembari mengidolakan kemampuan Bellamy bergitar, kerennya sosok Chris, juga hentakan mantap Dominic. Muse Drones World Tour memastikan tidak ada amunisi yang tertinggal, kecuali beberapa lagu (Plug in Baby, Resistance, etc.) yang rutin mengisi setlist tur yang berlangsung selama 2015-2016 ini, tapi ditinggalkan demi pembiasaan durasi.
Apa yang Muse miliki dan kebanyakan grup band tidak, yaitu kemampuan memainkan lagu sebaik dan sebersih versi album. Menyaksikan (atau dalam konteks ini mendengarkan) performa mereka dalam bioskop dengan audio Dolby Atmos membuat kelebihan itu tersampaikan. Telinga kita bakal dihajar distorsi, tapi bunyi tiap-tiap instrumen tetap sanggup dibedakan. Dentuman bass Chris, yang biasanya hanya saya nikmati lewat pengeras bunyi ala kadarnya di laptop tak pernah terdengar semantap ini. Tentu puncaknya yaitu Hysteria yang telah banyak berjasa mengantar para pemain bass grup band tingkat sekolah memenangkan penghargaan individu dalam banyak sekali ekspo musik.
Anda akan melihat replika drone melayang, layar raksasa di belakang para personil memancarkan sederet visual artistik megah yang ibarat hasil “perkawinan” antara karya James Cameron dengan surealisme. Semuanya, di samping musik serta performa band, merupakan faktor jualan terbesar konser Muse, dan film ini berusaha memberi kesan semirip mungkin dengan menyaksikannya secara eksklusif kepada penonton. Ekspresi mereka yang beruntung sanggup hadir di lokasi turut ditangkap. Teriakan histeris, senyum lebar, air mata mereka, ditampilkan guna menyalurkan emosi serupa ke penonton filmnya.
Sayang, kualitas gambarnya tidak sejernih falseto Bellamy. Beberapa mencoba terlampau artsy dengan efek tak perlu kolam filter Photoshop, beberapa penuh noise, beberapa terlalu textbook, di mana penyuntingan gambar dilakukan sesuai tempo lagu. Masalahnya, banyak lagu Muse mengandung nuansa chaotic, sehingga saat sang editor ingin selalu mengikuti, acap kali justru membuat sekuen yang sukar dinikmati. Selaku film konser, apalagi mengenai Muse lewat segala gimmick visualnya, kekurangan di atas terang fatal. Dampaknya, sekat penonton dengan pertunjukan menebal, yang berarti, tujuan merangkai film konser yang immersive urung tercapai.
Hans-Peter Velthoven yang bertanggung jawab di belakang kamera seolah tidak berniat membuat Muse Drones World Tour lebih dari sekedar rekaman konser. Kesan yang menguat kala selain sebaris kalimat pendek yang diucapkan ketiga personil di awal, tiada bumbu narasi di sela-sela performa. Film konser yang baik, misalnya Coldplay Live 2012, berhiaskan selingan narasi (biasanya tersusun atas wawancara) bisa sebagai pemberi keintiman dengan sang musisi, atau lebih dari itu, membuat jalinan kisah berupa benang merah antar-lagu. Muse, di album mana pun, terang menyimpan setumpuk kisah menarik. Tapi, sebagai film yang bertujuan memberi wahana penonton bernyanyi bersama, Muses Drones World Tour tentu memuaskan. Now, take a bow for one of the greatest grup band today in one of their greatest show.