Download Movies Free Sanju (2018)
Ada dua jenis penonton film biografi: 1) Penggemar atau mereka yang mengikuti perjalanan subjeknya, kemudian ingin melihat visualisasi babak-babak penting kehidupan tokoh tersebut, yang kemungkinan sudah dihafal betul, 2) Penonton awam yang sebatas tahu atau malah sama sekali buta sehingga ingin berkenalan dengan karakternya. Saya yakni awam mengenai Sanjay “Sanju” Dutt. Karir penuh kontroversinya Cuma saya ketahui lewat banyak sekali artikel di internet. Saya tak bisa bicara mewakili golongan pertama. Saya tidak bisa berbohong dengan berlagak sok tahu, namun bagi kelompok penonton kedua, Sanju yakni tontonan biografi yang mencengkeram cukup berpengaruh sekaligus penuh perasaan, meski agak bertele-tele di separuh pertama.
Narkoba, wanita, sindrom superstar, keluarga, persahabatan, hingga urusan aturan menyangkut terorisme. Sanju mempunya hidup yang cukup untuk membangun beberapa demam isu miniseri tanpa perlu merenggangkan dongeng secara paksa. Bagian yang saya sebut bertele-tele terjadi di awal, kala menyoroti fase Sanju (Ranbir Kapoor) dikala gres memulai karir sebagai pemain drama di bawah instruksi sang ayah, pemain drama sekaligus sutradara legendaris Sunil Dutt (Paresh Rawal), dan mulai terjerumus dalam adiksi narkob yang rutin disuplai oleh temannya, Zubin Mistry (Jim Sarbh), atau kerap ia panggil “God”.
Naskah goresan pena Rajkumar Hirani (3 Idiots, PK)—yang turut menjabat selaku sutradara—bersama kolaborator setianya semenjak Lage Raho Munna Bhai (2006), Abhijat Joshi, ingin menekankan pada kondisi kambuhan Sanju. Sesekali ia berhenti, tapi tidak butuh waktu usang hingga kembali mengonsumsi obat-obatan. Pola ini diulang terus-terusan, meski terdapat cara lain guna memberikan situasi itu dengan lebih ringkas tanpa kehilangan inti pesan, sebutlah montase, atau teknik lain yang sama kreatifnya dengan sekuen psikedelik yang hadir tiap kali karakternya teler. Berusaha semoga repetisi tindakan Sanju tersampaikan seutuhnya, metode yang dipilih justru mengakibatkan filmnya sendiri repetitif.
Setidaknya paruh pertama ini bisa menjelaskan perspektif yang diusung filmnya, yakni menggambarkan Sanju—meminjam istilah dari Manyata Dutt (Dia Mirza), istri Sanju—sebagai “The king of bad decisions”. Banyak penyesalan menghantui pada fase ini akhir rentetan keputusan buruk, mulai kegagalan mewujudkan impian sang ibu, Nargis (Manisha Koirala), sebelum meninggal hingga kehilangan kekasihnya, Ruby (Sonam Kapoor). Walau begitu, tetap saja Sanju enggan (atau susah) berubah. Film ini urung menjustifikasi adiksinya, meski penonton diberitahu bahwa kesedihan demi kesedihan mendorongnya terperosok makin jauh. Sanju mengajak kita memahami, bukan membenarkan, dan motif ini diterapkan bagi masalah-masalah lain sepanjang durasi.
Babak kedua yang menyoroti perihal terorisme tampil lebih dinamis berkat banyaknya rahasia, kejutan, dan penelusuran misteri lewat sudut pandang Winnie Diaz (Anushka Sharma), penulis biografi Sanju, yang di dikala bersamaan turut bertindak selaku kritik terhadap pemelintiran fakta oleh media. Investigasi Winnie menggiring kita menuju proses mencari-dan-menemukan yang menarik. Kembali, tindakan Sanju menyimpan AK-56 maupun terlibat dengan berandal tak coba dibenarkan walau ada klasifikasi soal alasan di baliknya. Karena, jikalau Sanju coba memberi pembenaran takkan ada tugas sang ayah dan si sahabat, Kamlesh "Kamli" Kanhaiyalal Kapasi (Vicky Kaushal), yang tanpa kenal lelah mengoreksi kekeliruan Sanju.
Melalui hubungan interpersonal itu pula, khususnya Sanju-Sunil, film ini menemukan kehangatan dan mengaduk-aduk perasaan. Saya langsung terikat dengan elemen ayah-anak filmnya. Saya tahu benar, bagaimana kasih seorang ayah kepada puteranya, yang serupa Sanju, biasanya cenderung lebih akrab dengan ibu. Alhasil perwujudan kasih sayang itu dilakukan lewat proteksi atau sumbangan “diam-diam”. Ada sekilas acara di balik layar dari Munna Bhai M.B.B.S. (2003), debut penyutradaraan Rajkumar Hirani di mana Sanju dan Sunil bermain bersama. Di sebuah adegan, keduanya berpelukan, terus berpelukan meski sang sutradara telah berteriak “Cut!”. Momen itu tidak berlebihan. Itu yang terjadi jikalau anak pria dan ayahnya mengutarakan rasa satu sama lain yang selama ini tertahan.
Kecuali reka ulang Filmfare Awards 2004 ketika Sanju memenangkan “Best Actor in a Comic Role” berkat tugas di Munna Bhai M.B.B.S., film ini jarang menggambarkan sebesar apa dia, berasumsi semua penonton mengetahuinya. Saya tidak menyarankan elemen itu menerima porsi khusus. Saya tidak bisa mengkritisi apa yang tidak ada di layar. Tapi meluangkan waktu sejenak mengedukasi penonton awam soal puncak popularitas Sanjay Dutt terperinci tidak merugikan, walau penampilan Ranbir Kapoor cukup menggambarkan menyerupai apa kepribadiannya, termasuk persona badboy-nya yang diidolakan. Hebatnya, Ranbir mulus bertransformasi, memerankan Sanju dari bermacam-macam masa, semenjak usia 20 awal hingga 50-an tahun. Prostetik ikut membantu, namun Ranbir, yang diberi jeda sebulan sebelum pengambilan gambar tiap fase semoga membantunya “berubah” tak terkecuali dari segi fisik, menciptakan saya percaya tidak sedang melihat pemain drama di balik riasan, melainkan seseorang yang terus bertumbuh dan bertambah tua.
Seperti biografi yang Sanju ingin tulis, film ini yakni kebenaran dari sudut pandangnya, atau lebih tepatnya, versi Rajkumar Hirani yang sudah ia setujui, sehingga tak menutup kemungkinan terselip perjuangan mempermanis beberapa aspek supaya “memutihkan” namanya. Saya tidak tahu cuilan mana, dan sekali lagi, saya tidak bisa berbohong, berlagak sok tahu mana nyata, mana rekayasa. Tapi saya tahu pasti, selama 161 menit perjalanannya, Sanju merupakan film biografi yang solid. Seusai menonton saya mendengar perbicangan sebuah keluarga perihal Sanju. Mereka puas, sementara sang ayah sangat antusias menceritakan versinya untuk momen-momen dalam film, yang berasal dari ingatannya. Rasanya tidak keliru berasumsi, bahwa semakin anda mengenal Sanjay Dutt, semakin mengesankan filmnya.