Balada Bala Sinema (2017)
Saya percaya menonton film sanggup mencerdaskan bangsa. Keberadaannya memfasilitasi penyampaian ragam fenomena, informasi, dan pengetahuan dari penjuru dunia, juga menstimulus imajinasi. Balada Bala Sinema beserta subjeknya, Bowo Leksono dengan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang ia dirikan telah berjasa melaksanakannya. Dan teruntuk Bowo, sosoknya laksana guru besar sinema tanah air, setidaknya dalam lingkup komunitas dan ruang pemutaran alternatif, berkat perjuangannya memaparkan keindahan sinema bagi rakyat kampung yang tak tersentuh bioskop komersil.
Diawali kesuksesan film pendek Peronika di 2004, dua tahun berselang Bowo mendirikan CLC yang menyediakan wadah berkarya siswa-siswi Purbalingga. Lalu setahun setelahnya, berbekal dana terbatas tanpa uluran pemberian sponsor maupun pemerintah setempat, ia mencetuskan Festival Film Purbalingga (awalnya berjulukan Parade Film Purbalingga) yang populer lewat kegiatan Layar Tanjleb selaku media penayangan film untuk masyarakat kampung seantero Banyumas Raya. Tentunya itu bukan suatu usaha mudah.
Tanpa gaya berlebih menyerupai dokumenter kontemporer yang belakangan marak, Yuda Kurniawan murni memposisikan Balada Bala Sinema sebagai tontonan informatif. Kekuatannya bukan pada kekayaan estetika melainkan kelengkapan informasi, merangkum perjalanan panjang Bowo Leksono sedari mendirikan CLC, terlibat konflik dengan pemerintah Purbalingga terkait larangan menggunakan pendopo untuk memutar film yang berujung terciptanya dokumenter 30 menit berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih, sampai membawa pelajar Purbalingga berjaya di banyak sekali pameran film berskala nasional.
Memakan waktu bertahun-tahun mengumpulkan stok gambar, memudahkan Yuda menyusun detail perjalanan subjeknya juga bisa menangkap momen-momen penting secara utuh. Balada Bala Sinema patut bersyukur dianugerahi narasumber yang pintar bercerita, bisa menyediakan kisah yang komplet sekaligus gampang dipahami sehingga nyaman diikuti. Tidak mengherankan, toh mayoritas dari mereka merupakan sutradara handal. Keputusan Yuda menentukan banyak menerapkan teknik talking head pun terbayar lunas.
Kepiawaian Yuda Kurniawan bernarasi menyebabkan film ini, meski tersusun atas beraneka macam konflik, tetap terjalin rapi pada satu benang merah yang mewakili semangat Bowo Leksono dan CLC, yakni perjuangan. Dibuka oleh teks mengenai terbebasnya kekangan berkarya pasca Orde Baru, Balada Bala Sinema tak pernah lepas dari perjuangan, entah mengakali keterbatasan atau melawan represi pemegang (dan yang memaksakan) otoritas. Namun filmnya tak terhindar dari masalah, ketika footage melimpah jadi pisau bermata dua. Bagai sayang membuang stok, acap kali satu insiden berlangsung terlalu usang akhir disertakannya poin kurang substansial atau montage yang kepanjangan.
Mencapai satu jam, Balada Bala Sinema pun sempat goyah dan kehilangan momentum, hingga mencapai konflik pamungkas tatkala CLC diserbu ormas berkedok pembela Pancasila alasannya menyelenggarakan pemutaran Pulau Buru Tanah Air Beta. Di sinilah perlawanan bertabur gejolak emosi memasuki puncaknya. Kecerdikan Yuda terasa betul dikala tetapkan mewawancarai ketua ormas dengan para pengikutnya rutin berteriak "NKRI HARGA MATI!" di belakang. Daripada "cuma" menyulut kekesalan penonton (yang mana sukses dilakukan), Yuda menghadirkan momen emas berupa ucapan menggelikan menyerupai "boleh mencar ilmu sejarah asal jangan mengungkit yang sudah lewat". Kita pun diajak menertawakan kebodohan negeri ini.
Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017