Gintama (2017)
Karakter insan dengan model dan warna rambut unik yang perilakunya berlebihan, makhluk-makhluk aneh berseliweran, komedi random, dunia imajinatif, rangkaian bencana di luar logika. Gintama punya segala hal yang menciptakan pembiasaan live-action manga disukai. Menghidupkan unsur manga ke tatanan "dunia nyata" akan meniru absurditasnya, yang justru jadi daya tarik utama. Dan lewat pembiasaan manga berjudul sama karya Hideaki Sorachi ini, penonton menuju versi alternatif masa Edo, di mana ras Alien yang disebut Amanto (manusia langit) menginvasi Bumi. Perlawanan para samurai menemui kegagalan, dan sekarang mereka terasing, dihentikan mengangkat pedang.
Pengaruh terbesar bagi insan terkait kehadiran Amanto ialah teknologi. Mesin kasir, televisi, skuter, hingga pesawat sanggup kita jumpai pada versi Edo satu ini. Dampaknya, kultur masyarakat pun berubah, menyerupai kegemaran si tokoh utama, Gintoki (Shun Oguri) memakan parfait. Gintoki merupakan mantan samurai yang berkat ketangguhannya dijuluki "Iblis Putih". Bersama samurai dewasa berjulukan Shinpachi (Masaki Suda) dan Kagura (Kanna Hashimoto), alien berwujud gadis berambut merah bermata biru, Gintoki membuka bisnis freelance. Pekerjaan terbarunya ialah menyelidiki hilangnya sebuah pedang yang diduga jadi senjata seorang pembunuh berantai yang akhir-akhir ini tengah beraksi.
Alih-alih terjun eksklusif ke konflik utama, first act-nya didominasi parade komedi serampangan, dari animasi ala karaoke murahan (begitu film ini menyebutnya) untuk meralat kemudian mengoreksi adegan pembuka, hingga perlombaan mengejar kumbang emas milik Shogun yang lepas antara Gintoki dan kawan-kawan dengan sepasukan Shinsengumi. Kecuali mengenalkan beberapa karakter, paruh pertamanya tak bersinggungan dengan plot utama. Biar begitu, pondasi komedi ditegakkan pada fase ini. Walau untuk penonton yang awam soal gaya bercanda manga/anime butuh waktu membiasakan diri, secara keseluruhan kejenakaan berhasil dibangun. Kejenakaan berbasis rasa abstrak yang takkan melelahkan dan selalu segar, macam Kapten Shinsengumi melumuri badan nyaris telanjangnya dengan madu demi memancing kumbang.
Penggunaan dunia alternatif membebaskan eksplorasi yang oleh Yūichi Fukuda selaku sutradara dipakai memamerkan pemandangan imajinatif tanpa batas. Meski berstatus live action, Gintama tetap mempertahankan aroma cartoonish dalam banyak sekali sisi, baik agresi samurai penuh gaya maupun semangat over-the-top komedinya. Fukuda yang juga melakoni kiprah menulis naskah menerima kebebasan bersenang-senang seenaknya. Tampak dari karakternya yang berulang kali coba berinteraksi eksklusif dengan penonton (break the fourth wall), menyadari eksistensi sebagai tokoh dalam film, atau menumpahkan tumpuan soal seri lain (Dragon Ball, One Piece, Gundam, dan lain-lain). Bahkan guyonan meta soal menyentuh batas hak cipta kala Nausicaa tiba-tiba muncul ikut terlontar.
Sayangnya, konsep kreatif tersebut sekedar Fukuda terapkan di permukaan. Ketika dongeng sentral mulai merangsek masuk, segalanya terjerumus menuju keklisean. Konsep "alien pembawa modernisasi masa Edo" tersia-sia, bagai hilang tanpa bekas. Sebab tanpa dibarengi dasar itu pun, guliran kisahnya takkan terpengaruh. Memasuki sepertiga tamat perjalanan, Gintama mengubah kesejukan formatnya menjadi agresi generik (sembari tetap diselipi humor) berlokasi di atas pesawat raksasa yang tak ada bedanya dibanding blockbuster medioker produksi Hollywood, dengan puncak pertarungan Gintoki melawan musuh berwujud ala monster dari film Resident Evil.
Niat memperlihatkan bobot emosi lewat sentuhan drama persahabatan justru menurunkan tensi akhir lemahnya penulisan dramatik naskah Fukuda. Pun pengadeganannya kerap karam dalam dialog membosankan nan berlarut-larut, menghasilkan durasi 130 menit yang sejatinya tak perlu sepanjang itu. Shun Oguri masih menyimpan charm sebagaimana ia tunjukkan dalam Crows Zero dahulun, sekarang ditambah kepiawaian melucu. Sementara Kanna Hashimoto mencuri hati lewat kombinasi tingkah menggemaskan bercampur kebodohan semaunya sendiri. Keduanya menghembuskan nyawa tatkala Gintama nyaris kehabisan daya akhir kegagalan memaksimalkan kreativitas premisnya.