Keluarga Tak Kasat Mata (2017)
Keluarga Tak Kasat Mata adalah film jelek. Sangat jelek. Dan sesuai tradisi, film berkualitas jauh di bawah rata-rata akan menerima review spesial. Tapi 2 hari berselang, saya buntu. Ketika ulasan Coco dan Murder on the Orient Express yang ditonton belakangan sudah dipublikasikan, inspirasi belum juga mengalir bagi Keluarga Tak Kasat Mata. Saking bingungnya, sempat terpikir menerbitkan satu halaman nyaris kosong bertuliskan "Ini ialah review tak kasat mata", namun urung saya lakukan. Karena itu sama saja dengan pembuat filmnya, yang kehabisan nalar kemudian menentukan jalur luar biasa malas sekaligus bodoh.
Setahun lalu, ketika horor tanah air cenderung jalan di tempat, kelemahan akut Keluarga Tak Kasat Mata mungkin bisa sedikit (catat: SEDIKIT) dimaafkan. Paling tidak ini bukan tontonan antah berantah macam Dia Pasti Datang atau Video Maut yang mengatakan keburukan tidak memiliki batas. Terima kasih Joko Anwar, Pengabdi Setan memasang standar baru. Kini, production value lumayan (catat: LUMAYAN) saja tak cukup memberi rasa maklum. Apalagi dalam film seperti Keluarga Tak Kasat Mata yang layaknya "kaum sumbu pendek" Indonesia, gampang curiga dan insecure. Pulpen jatuh musik berdentum, sebaris obrolan tamat musik berdentum, hantu muncul sekelebat pun musik berdentum.
Apa yang terjadi dikala para makhluk halus sungguh-sungguh menampakkan wujud? Menurut sutradara Hedy Suryawan (Rock N Love), jawabannya ialah close-up ekstrim, dan tentu saja musik berdentum. Bagai Benedict Cumberbatch yang doyan mengganggu sesi foto karpet merah, hantu film ini suka melaksanakan photo bomb, tiba-tiba muncul memenuhi seisi layar bioskop, yang daripada seram justru memancing tawa. Lucu, jauh lebih lucu ketimbang abjad Bebek (Kemal Palevi) yang memanfaatkan tiap kemunculan untuk merengek, bertingkah menyebalkan, berusaha tampil konyol meski sama sekali tidak lucu.
Soal membangun intensitas filmnya juga punya metode murahan. Ketegangan berbasis kekacauan situasi disamakan dengan editing lompat-lompat, kala secara ajaib, tokohnya bisa mendadak berpindah tempat. Entah di antaranya ada transisi tak kasat mata atau pembuat filmnya menganggap Genta (Deva Mahenra) dan kawan-kawan sebagai David Copperfield yang tengah melaksanakan sulap pindah daerah dalam sekejap dibantu trik kamera. Deva sendiri kesulitan menangani tugas protagonis horor yang dituntut senantiasa takut dan curiga, akhir kosongnya pengekspresian rasa.
Cerita Keluarga Tak Kasat Mata buatan Bonaventura D Genta yang terkenal di Kaskus intinya merupakan rangkaian pengalaman melihat hantu atau mendengar bunyi aneh, yang mengerikan alasannya ialah membiarkan imajinasi serta perkiraan pembaca berkeliaran. Mengangkatnya mentah-mentah ke layar lebar, menyerupai tangisan wanita yang rutin terdengar tiap beberapa menit, menghasilkan ketiadaan eksistensi alur pun daya cekam. Walau tidak hingga satu setengah jam, alasannya ialah sekedar diisi penampakan satu ke berikutnya, Keluarga Tak Kasat Mata seolah berjalan sehari penuh. Bisa dipahami jikalau anda merasa sedang terjebak di kutukan bundar waktu tanpa ujung serupa Jessica Rothe di Happy Death Day.
Ada perjuangan merajut alur, namun naskah buatan trio Lele Laila, Evelyn Afnila, dan Bonaventura D Genta mengandung setumpuk poin yang pantas dipertanyakan, dari esensi goresan pena penanda waktu serta lokasi yang hanya tampak di awal, hingga resolusi seputar para keluarga tak kasat mata di kantor Genta. Penonton bukan Genta dan Rudi (Gandindra Bimo) yang bisa memahami dilema makhluk halus hanya lewat menandakan ambigu dalam mimpi. Penonton butuh elaborasi. Tak perlu gamblang, cukup pemaparan berbentuk struktur dongeng rapi alih-alih plot tak kasat mata dalam film berkualitas tak kasat mata pula.