Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017)
Satay western. Demikian karya teranyar Mouly Surya yang telah kemudian lalang di festival-festival internasional ini disebut. Istilah tersebut mengingatkan pada spaghetti western, salah satu sub-genre yang mencapai masa keemasan di periode 1960-an semenjak Sergio Leone merengkuh puncak kesuksesan. Sebagaimana spaghetti western dengan ambiguitas moral serta kekerasan, satay western punya elemen-elemen khas, selain tentunya buatan sineas Indonesia. Faktor kultural Sumba jadi partikel penyusun pondasi, tetapi lebih Istimewa tatkala Mouly bisa menerapkan unsur western ke realita modern berisi isu-isu relevan, khususnya feminisme.
Berdasarkan inspirasi kisah dari pengalaman faktual Garin Nugroho ketika menyaksikan pemenggalan di pasar Sumba, naskah garapan Mouly bersama Rama Adi menempatkan seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy) di tengah bahaya perampok. Sang pemimpin, Markus (Egi Fedly), mendatangi Marlina, mengutarakan maksud merampok harta benda sekaligus memperkosanya. Begitu perampok tiba, praktik patriarki turut mendera. Marlina dirampas haknya, diminta diam, patuh, memasak makan malam, melayani nafsu seksual para pria. Hilangkan setting perampokan, kita bakal melihat cerminan dunia faktual terkait anggapan "wanita yaitu pelayan pria".
Ucapan Markus bahwa Marlina beruntung berkesempatan ditiduri delapan laki-laki walau berstatus janda terdengar menusuk, lantaran kalimat bernada serupa, yaitu kesuksesan perempuan diukur lewat keberhasilan mendapat (atau didapatkan) pria, kerap berseliweran di sekitar kita. Sementara siksaan berlangsung, Mouly merangkai nuansa menghantui tatkala jenazah suami Marlina terduduk di sudut ruangan. Dari kacamata patriarki, protagonis kita tak berdaya. Sendiri, tanpa pelindung berjulukan pria. Namun selaku respon bagi maskulinitas spaghetti western, Marlina enggan tinggal diam, mengeksekusi penindasnya, bahkan memenggal salah satu kepala perampok. Inilah tamat babak pertama, "The Robbery".
Sesuai judulnya, film ini mempunyai empat babak: The Robbery, The Journey, The Confession, The Birth. Marlina tetapkan membawa kepala itu ke polisi, menembus lanskap padang gersang Sumba yang dibungkus sinematografi Yunus Pasolang, diiringi gitar plus suara siul musik buatan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang bagai berkiblat pada karya Ennio Morricone. Bermodalkan segala rasa western itu, Marlina tampil segar, mendobrak monotonitas gaya sinema Indonesia menyerupai ketika Joko Anwar menyuguhkan noir melalui Kala. Bahkan lebih unik, lantaran Marlina merupakan western berlatar masa kini, memungkinkan berandal versinya mengendarai motor trail dan truk alih-alih kuda dan keretanya (walau Marlina sendiri sempat menaiki kuda).
Penuturan gosip sosial Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak berlanjut di babak-babak berikutnya, termasuk mengkritik kinerja pegawanegeri serta respon publik yang justru kerap mencibir korban pelecehan. Malah dalam sebuah kesempatan, sempat salah satu perampok, Frans (Yoga Pratama), dengan nada kebencian memanggil Marlina "Si Pembunuh", seolah lupa siapa penjahat sesungguhnya. Menariknya, di antara gosip pelik juga aura suram, tawa penonton masih sempat dipancing oleh beberapa selentingan menggelitik juga sederet komedi hitam yang melibatkan khayalan liar dan petikan alat musik sebagai cue jika komedi akan segera muncul.
Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak merupakan kendaraan bagi Marsha Timothy menyentuh dimensi lain aktingnya. Marsha piawai memerankan tokoh yang memendam campur aduk emosi tetapi jarang meluapkannya. Suatu bentuk olah rasa yang lantang walaupun subtil. Ekspresi wajahnya nampak terbebani tapi tindakannya tanpa keraguan. Langkahnya pasti, pelan tapi tak gontai. Seperti filmnya sendiri, yang berkat visi berpengaruh Mouly Surya, bergerak perlahan namun punya tujuan, kemudian bermuara pada konklusi tepat yang memaparkan filosofi "kelahiran kembali" sembari menawarkan kekuatan terbesar seorang wanita.