Nyai (2016)
Teater, ketoprak, wayang orang, komedi stamboel. Jenis-jenis pertunjukan panggung tersebut merupakan asal sinema tanah air. Gaya bertutur, para pelakon, hingga aspek teknis menyerupai tata rias serta pencahayaan, yang pernah disinggung kritikus JB Kristanto mengusung semangat "asal terang dan jelas", bermula dari tradisi kesenian di atas. Melalui Nyai, Garin Nugroho mengunjungi babak historis itu, mengawinkan film dengan kesenian panggung yang telah konsisten ia lakukan semenjak awal karir. Bedanya, Nyai membawanya ke tingkat lebih tinggi, merangkum 90 menit narasi dalam satu take.
Mengambil masa 1927 tatkala Loetoeng Kasaroeng, film produksi Indonesia pertama, dilahirkan. Alkisah, hiduplah Nyai (Annisa Hertami), istri laki-laki Belanda berjulukan Willem van Erk (Rudi Corens). Menjadi seorang "Nyai" berarti siap mendapatkan jawaban jelek masyarakat. Sebutan "sundal" dan "kafir", bahkan lemparan kerikil hingga kotoran terpaksa dihadapi. Tapi Nyai mengambarkan ia bukan sekedar "wanita pribumi miskin yang dipersunting tuan kaya". Beraneka tamu, dari musisi, akuntan, jurnalis, juga pemuka agama, ia ladeni secara tegas, berwibawa, intelek.
Nyai bagai klimaks mulut kecintaan Garin Nugroho terhadap napak tilas kesenian nusantara. Mendasari kisah dari lima novel mengenai "Nyai" dengan setting 1920-an termasuk Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal, Garin akil melukiskan kondisi dunia seni masa itu. Penonton diajak memahami bagaimana film (dahulu disebut "gambar sorot") hingga komedi stamboel mengisi kehidupan para tokoh melalui selipan rujukan pada pembicaraan maupun kedatangan bermacam orang dalam rangka ulang tahun Willem. Kemunculannya natural berkat keberadaan konteks, tidak dipaksa masuk secara acak.
Metode one take-nya mungkin belum serumit Russian Ark atau Victoria, di mana kamera Nur Hidayat hanya bergerak di beberapa kesempatan saja. Tapi itulah mengapa pilihan estetika ini bukan sebatas gaya-gayaan. Kamera berfungsi menggantikan tata pencahayaan selaku alat penentu fokus pertunjukan. Bentuk default-nya yaitu shot diam di tengah menyerupai lampu netral yang menyoroti panggung utama. Begitu titik fokus pindah, kamera pun bergerak. Sementara pergantian antara siang dan malam tersaji mulus berkat perubahan halus intensitas lampu dibarengi bunyi-bunyian suasana contohnya bunyi jangkrik.
Nyai jadi pola kala film menguatkan presentasi teater, memfasilitasi apa yang sulit dicapai di atas panggung. Close-up memungkinkan penonton mengamati detail mulut Annisa Hertami yang bermain dalam konsistensi luar biasa, memamerkan sosok Nyai yang tak gentar berkonfrontasi, menaklukkan tiap lawan bicara melalui ketegasan tutur serta laku. Eksplorasi ruang pun terbantu, contohnya ketika sekali waktu kamera masuk menelusuri interior rumah. Tidak lupa, Garin menambahkan kesejukan khas teater berupa secuil guyonan lewat interaksi dua pembantu yang diperankan Gunawan Maryanto dan Cahwati Sugiarto.
Berasal dari perspektif laki-laki mengakibatkan tuturan soal ketangguhan perempuan film ini kurang nyaring bersuara, sebatas mengandalkan performa solid Annisa Hertami terkait pemaparannya. Selebihnya, Nyai berhasil mengembalikan dua poin: Akar film tanah air yang bersinggungan dekat dengan cabang kesenian tradisional lain, serta Garin Nugroho dalam karya juga ciri terbaiknya sehabis Mooncake Story gagal total. Bersama eksperimen lain berupa Setan Jawa, film bisu diiringu live orchestra, sang sutradara senior menemukan sentuhannya lagi.
Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017