Download Movies Free Takut Kawin (2018)
“Awas lu ketabrak! Gue doain, gue sumpahin beneran ketabrak lu!”. Itu bukan pertengkaran antara teman, melainkan luapan amarah seorang ibu pada anaknya yang masih kecil, yang saya dengar di halte seusai menonton Takut Kawin. Merawat anak tidak mudah. Banyak orang ragu menikah salah satunya lantaran belum siap punya momongan. Bagi yang terlambat menyadari ketidaksiapannya, sanggup berakhir menyerupai ibu di atas. Intinya, alasan takut menikah majemuk dan butuh melewati pertimbangan panjang pula rumit sebelum mengambil keputusan. Sehingga dikala Bimo (Herjunot Ali) melamar Lala (Indah Permatasari) lantaran terbawa suasana sekaligus menolak dianggap takut, saya tak terkejut prosesnya bermasalah.
Bimo melamar Lala di pesta janji nikah sahabatnya, Romy (Junior Liem) ketika sedang mengucapkan kata sambutan. Orang tidak tahu malu dan kurang peka mana yang melaksanakan itu? Lucuny, semua orang, termasuk kedua mempelai tidak tersinggung, bahkan mendukung agresi dadakan itu. Di dunia nyata, Bimo mungkin tidak lagi dianggap sahabat. Di dunia kasatmata pula, arsitek ganteng nan kaya tampaknya takkan sulit merebut hati perempuan atau menjadi “anak rumahan” yang memesan air putih di kelab malam. Bagaimana cara Takut Kawin menciptakan penokohan itu sanggup dipercaya? Meminta Junot berakting penuh kecanggungan dengan bibir jarang terkatup menyerupai biasa.
Singkatnya, Bimo mulai mewaspadai keputusannya menikah sehabis mendapati ia dan Lala mempunyai banyak perbedaan. Dibenturkan pada Lala yang keras kepala, Bimo merasa selalu kalah pula kurang dihargai. Kejenakaan mengiringi prosesnya mempersiapkan mental menghadapi perkawinan. Setidaknya, begitu tujuan Takut Kawin. Masalahnya, Junot tidak lucu. Usahanya menghidupkan Bimo yang canggung dan plin-plan justru menghasilkan aktin kaku akhir penuturan kalimat tanpa nyawa. Sutradara debutan Syaiful Drajat AS (juga selaku produer eksekutif) bagai kebingungan menggunakan potensi deadpan comedy sang aktor. Sebaliknya, Indah Permatasri bermain solid, dan huruf gadis keras nan secara umum dikuasai peranannya mestinya lebih dieksploitasi lagi sebagai “counter” bagi Bimo dalam rangka membangun unsur komedi.
Kenyataannya, Junot memang butuh tandem wacana melucu. Tandem yang memberinya kesempatan merespon dan menimpali dengan mulut polosnya, bukan yang “menguasai panggung” macam Adjis Doaibu atau Babe Cabita. Contohnya sewaktu Nina Kozok (saya lupa nama tokohnya) menciumnya, kemudian bertanya “Is it good?”. Dengan cepat Junot menjawab lewat acungan jempol, tentunya tanpa menutup bibir. Itu lucu. Takut Kawin butuh lebih banyak intraksi mengelitik Junot-Indah.
Itulah mengapa sepertiga durasi simpulan amat menghibur, mengangkat kualitas filmnya secara drastis. Bimo selalu menghindari Lala, begitu pun sebaliknya. Tapi kita tahu takdir akan mempertemukan keduanya lagi. Saat kesudahannya momen itu terjadi, Takut Kawin berkembang makin mengasyikkan. Tengok konklusinya. Lucu, manis, dinamis, lantaran Junot dan Indah saling melengkapi sebagaimana Bimo dan Lala. Takut Kawin bicara soal betapa cinta merupakan poin terpenting pernikahan, alhasil penonton harus dibentuk percaya bahwa kedua tokoh utama saling menyayangi supaya pesan itu sempurna sasaran. Sayangnya, selain kuantitas minim, di paruh awal pun kita lebih sering diuguhi pertengkaran ketimbang kemesraan mereka.
Paruh kesudahannya turut menyimpan kejutan (a good one), yang eksekusinya terganggu oleh penyutradaraan menggelikan sewaktu Lala memutar lagu Berpisah-nya Angel Karamoy di sela-sela pembicaraan seriusnya dengan Bimo. Sebuah momen yang bukannya menyentuh, justru cringe-worthy. Naskah buatan Alim Sudio yang tidak cukup menggali masalah kultur janji nikah di Indonesia maupun hubungan kedua protagonis, serta kerap kacaunya pengadeganan Syaiful Drajat AS jadi akar permasalahan Takut Kawin. Seusai film, saya yakin, penonton yang merasa takut melangkah ke jenjang janji nikah bakal tetap takut.