Blade Runner 2049 (2017)
Sekuel dirilis puluhan tahun pasca film orisinil bukan hal asing. Beberapa demi nostalgia, beberapa semata perjuangan frustasi mengais sisa kejayaan untuk pundi-pundi uang, beberapa memang sebuah lanjutan perjalanan yang perlu. Blade Runner 2049 selaku sekuel Blade Runner (1982) yang merupakan penyesuaian novel Do Androids Dream of Electric Sheep? buatan Philip K. Dick sejatinya tanpa urgensi. Tapi melanjutkan rentetan kemenangannya, Denis Villeneuve bisa melahirkan sekuel yang melampaui pendahulunya, setidaknya di mata minoritas macam saya yang kurang mengagumi karya Ridley Scott tersebut.
Blade Runner versi original kental eksplorasi filosofis perihal eksistensi dan kemanusiaan tapi kurang perihal balutan misteri guna menemani tuturan neo-noir tempo lambatnya. Masih ditulis oleh Hampton Francher yang sekarang berduet bersama Michael Green menggantikan David Peoples, Blade Runner 2049 tetap mempertanyakan humanisme yang tersimpan di balik pemeriksaan K (Ryan Gosling), anggota Blade Runner yang bertugas "memensiunkan" replicants. K sendiri juga seorang replicants. Karena menghindari spoiler, saya tidak bisa menjabarkan lengkap, tapi pada dasarnya penyelidikan K mengarah akan diam-diam replicants yang sanggup mengubah dunia, khususnya korelasi mereka dengan manusia.
Berlangsung selama 163 menit, naskahnya rutin menyuguhkan misteri berdaya tarik tinggi untuk penonton gali. Kuatnya imbas noir yang identik dengan alur rumit di mana penyelidikan bakal bercabang dan fakta disebar dalam bentuk kepingan-kepingan kecil pula urung diungkap secara gamblang memaksa penonton berkonsentrasi penuh. Di sinilah gaya Villenueve berperan penting. Serupa Arrival, tempo lambat digunakan semoga tiap momen dan potongan puzzle tertancap di benak penonton, memberi kita waktu mengolah seluruh informasi. Walau di beberapa kesempatan, kelambatan itu berlebihan, menyebabkan acara sederhana para tokoh kolam berlangsung tanpa ujung.
Pemangkasan durasi sekitar 10-15 menit akan membantu mempertahankan konsistensi intensitas. Setidaknya sinematografi luar biasa Roger Deakins setia menemani. Ditemani tata artistik yang meyakinkan melebur pemandangan tandus wasteland dengan nuansa "low life, high tech" ala cyberpunk, gambar olahan Deakins yakni masterpiece soal pilihan warna dan permainan cahaya. Ketika kisahnya menyoroti jurang pemisah insan dan replicants, Deakins juga menghadirkan pertentangan antara reruntuhan peradaban maju menyerupai di Las Vegas, daerah Rick Deckard (Harrison Ford) bersembunyi yang kental warna Jingga dengan atmosfer futuristik di markas Niander Wallace (Jared Leto) sang produsen replicants.
Perpaduan juara sinematografi plus tata artistik tersebut membantu Villeneuve mewujudkan visinya mengemas adegan agresi yang memberi kiprah penting pada lingkungan sekitar. Aksi milik Blade Runner 2049 cenderung artistik ketimbang bombastis, kondisi sekeliling mensugesti rintangan aksara (ombak di klimaks) atau mensugesti mood macam hologram Elvis dan Marilyn Monroe yang mengiringi baku hantam K dan Deckard. Momen kedua jadi pola eksperimen cerdik untuk visual serta suara. Sayangnya departemen musik yang digawangi duo Hans Zimmer-Benjamin Wallfisch tak bisa mengulangi maha karya Vangelis di film pertama walau mempertahankan synth atmosferik sambil diselingi hentakan khas Zimmer. Apalagi dibanding pendahulunya, Blade Runner 2049 menambah kadar bumbu romantika, sehingga scoring jazzy yang intim pun terkadang seksi milik Vangelis terang lebih cocok.
Gosling tepat mewakili tema "mempertanyakan kemanusiaan" filmnya lewat penampilan cuek yang turut memancing ambiguitas K dan replicants pada umumnya. Apakah mereka punya jiwa, sekedar benda tanpa nyawa, atau justru lebih insan dari insan itu sendiri? Ford membawa Deckard menjadi lebih gritty, selaras dengan setumpuk hal yang menimpanya selama 30 tahun, sementara Leto tampil eksentrik sebagaimana baris-baris kalimat filosofis yang diucapkan Wallace. Namun hati terbesar bersumber dari Ana de Armas sebagai Joi, kekasih hologram K yang meski tanpa badan nyata, justru lebih mempunyai rasa ketimbang para manusia. Kalimat "like a real girl" yang ia lontarkan yakni hal paling menyentuh sepanjang film. Jadi, apakah yang menciptakan kita spesial?