The Big Sick (2017)
Di salah satu adegan The Big Sick, Emily (Zoe Kazan) menyatakan ingin mendengar lebih banyak perihal sisi personal kekasihnya, Kumail (Kumail Nanjiani memerankan dirinya sendiri). Pernyataan itu terlontar pasca Kumail menampilkan pertunjukan monolog di mana ia mengisahkan budaya serta kebiasaannya sebagai anggota keluarga Pakistan. Momen tersebut mewakili pesan utama filmnya, bahwa "Jati diri seseorang ditentukan oleh pribadinya, bukan ras, agama, atau asal negara". Terdengar klise, tapi sungguh pesan penting nan relevan, tidak saja untuk konteks kondisi sosial Amerika Serikat, pula seluruh dunia sekarang.
Ditulis naskahnya oleh pasangan suami istri, Kumail Nanjiani dan Emily V. Gordon, The Big Sick bersifat semi-autobiografi, mengambil intisari masalah mereka selama berpacaran, sebelum menikah pada 2007. Menjadi anak imigran Pakistan yang tumbuh besar di Chicago menghadirkan benturan bagi Kumail. Kedua orang tuanya yakni pemeluk Islam taat sekaligus masih memegang teguh adab istiadat Pakistan, termasuk mengatur perjodohan bagi anak-anaknya. Sebaliknya, hidup di Amerika merangsang Kumail berpikir lebih bebas dan terbuka, menolak menelan mentah-mentah aliran keluarganya. Apalagi begitu ia jatuh cinta pada Emily, seorang gadis kulit putih.
Ditulis selaku curahan personal membuat The Big Sick begitu akrab bagi penonton yang turut mengalami hal serupa. Karena pembuatnya memahami betul inti persoalan, konflik benturan budaya dan generasi, juga kepercayaan yang melibatkan ukiran dengan orang renta bisa disampaikan melalui ragam situasi familiar. Saya misalnya, pernah menyerupai Kumail, berpura-pura mematuhi perintah orang renta untuk solat dengan cara masuk ke kamar kemudian menanti selama lima menit. Kedekatan demikian berhasil menambah bobot filmnya, bukan semata presentasi, pula mampu mewakili.
Sebagai gambaran, menolak perjodohan dan enggan menaati aliran agama berpotensi menciptakan Kumail tak lagi dianggap keluarga. Resiko luar biasa besar, alasannya tidak peduli serumit apa problematika makro di dunia, masalah personal dalam lingkup keluarga bakal lebih memancing gejolak perasaan. Kumail menyebabkan The Big Sick media meluapkan isi hati termasuk amarah, sebagaimana ketika karakternya mengamuk ketika kesulitan memesan burger yang diinginkan (adegan ini pun mempunyai benang merah terhadap tema besar terkait kekakuan pola pikir). Namun darah pelawak tampaknya mengalir terlalu deras dalam diri Kumail, kesudahannya konflik pelik pun tetap dibalut menggelitik.
Di sini alasan The Big Sick terasa spesial. Bahkan sewaktu momen dramatis menerjang, kita masih dibentuk tergelak berkat baris-baris kalimat goresan pena Kumail dan Emily maupun sederet komedi situasi yang seolah berkata "apabila segalanya terlampau sulit, tertawakan saja". Barisan pemainnya mendukung pendekatan tersebut. Jajaran penampil utama wanita, Zoe Kazan dan Holly Hunter (sebagai Beth, ibu Emily) mempesona lewat pembawaan dinamis nan energik. Khususnya Hunter yang melahirkan aksara ibu menarik, yang gemar duduk dengan mengangkat satu kaki, kemudian tidak segan terlibat keributan di klub komedi. Sebaliknya, para laki-laki yang diwakili Kumail Nanjiani dan Ray Romano (sebagai Terry, ayah Emily) lebih pasif. Namun di balik kediaman itu tersimpan hati yang didasari perjuangan pertanda cinta mereka meski sempat melukai perasaan pasangan.
Film ini juga mencontohkan apa yang disebut ending sempurna. Cukup sebuah momen singkat berbentuk konklusi sesuai harapan, yang membawa karakternya maju ke depan sembari sejenak mengunjungi masa kemudian yang mengawali semuanya. Sutradara Michael Showalter (Hello, My Name Is Doris) paham betul substansi adegan epilog itu, menolak hiperbola mendramatisasi. Ibarat suatu lagu, Showalter enggan memakai orkestra glamor bernuansa megah, cukup memanfaatkan instrumen serta pilihan nada sesuai yang tepat mengenai target berupa emosi penonton.