Chrisye (2017)
Menengok kehidupan sumber inspirasinya, Chrisye bisa terjatuh dalam jurang kesalahan fundamental film biografi, yakni ambisi. Perjuangan mengejar impian, warna-warni industri musik, romantika, sampai pergumulan batin terkait religiusitas, semua mengiringi perjalanan penyanyi legendaris berjulukan orisinil Chrismansyah Rahadi ini. Untungnya, menurut ide serta supervisi istri Chrisye, Damayanti Noor, skenario buatan Alim Sudio cendekia memilah poin mana saja yang perlu ditampilkan, mengaitkannya, menghasilkan dongeng utuh yang dihubungkan benang merah berupa "spiritualitas".
Dari sini, penonton berguru bahwa setiap langkah Chrisye (Vino G. Bastian) dituntun oleh iktikad dari hati. Dia yakin musik merupakan jalan hidup meski harus menentang sang ayah (Ray Sahetapy), pula bahwa Damayanti (Velove Vexia) yakni perempuan terbaik baginya walau dihadapkan perbedaan agama. Bahkan alasan ayahnya memberi restu bermusik didorong mimpi ditegur sosok berpakaian putih. Ditambah beberapa pergolakan batin tokoh pula pemilihan proses rekaman Ketika Tangan dan Kaki Berkata sebagai puncak, menunjukan filmnya bertujuan memposisikan kekerabatan insan dan Tuhan selaku pondasi seorang Chrisye.
Biarpun tidak dalam bentuk konvensional, Chrisye layak disebut film religi, setidaknya kental tekstur spiritual. Film religi yang enggan berceramah, tidak perlu setumpuk istilah keagamaan, semata melukiskan kemelut ruang batin yang menjadikan musik alat komunikasi dengan Sang Pencipta. Itulah mengapa sisi personal Chrisye, termasuk hubungan dengan Damayanti lebih diutamakan, tanpa melupakan sisi karir musiknya. Melalui naskahnya, Alim Sudio bisa mengesankan betapa kehidupan eksklusif dan karir Chrisye saling bertautan, tidak bisa dipisahkan, berkorelasi satu sama lain sehingga membentuk Chrisye secara utuh.
Keputusan tersebut tetap menjadikan imbas negatif tatkala presentasi perjalanan karir Chrisye tersaji serba mendadak. Tiba-tiba beliau telah dikenal publik, tiba-tiba pula namanya melejit, dipandang sebagai sosok legenda musik tanah air. Pun bagi orang yang awam akan kondisi industri musik Indonesia masa itu, kesulitan keuangan Chrisye meskipun albumnya cukup meroket di pasaran akan menjadikan tanda tanya. Namun itu harga yang harus, juga layak dibayar demi menjaga fokus.
Dalam penggarapannya, Rizal Mantovani paham betul jikalau sudah dibekali dongeng faktual sekaligus formasi lagu luar biasa. Penggemar Chrisye bakal gampang meneteskan air mata mendengar lantunan klasik sang idola, atau kala kulminasi kekuatan cinta protagonis sewaktu Chrisye meminta Damayanti menemaninya merekam lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Rizal enggan hiperbola mendramatisasi, membiarkan balutan rasa kisah aslinya bekerja. Kerap menciptakan video klip, Rizal pun piawai mereka ulang aneka macam momen ikonik, sebutlah rekaman agenda Aneka Ria Safari dan pemotretan sampul album, keduanya untuk nomor Aku Cinta Dia.
Jajaran pemainnya memikat. Vino membayar lunas perbedaan warna suaranya dengan kebolehan mengolah emosi serta ketepatan memainkan gestur kaku Chrisye, yang uniknya (dibantu tata kostum dan rias), semakin seolah-olah seiring pertambahan usia. Soal permainan emosi, Velove Vexia mencapai tingkat serupa khususnya pada momen keputusan Chrisye memeluk Islam. Performa itu sayangnya diganggu kelamahan tata rias, ketika fase paruh baya Damayanti tak mempunyai perbedaan dengan sosoknya di usia muda. Demikian pula rambut palsu menggelikan yang dikenakan Andi Arsyil Rahman sebagai Erwin Gutawa. Sementara Roby Tremonti memberi penampilan singkat berkesan nan otentik sebagai Jay Subiyakto.