Ferdinand (2017)
Karakter Ferdinand dalam buku kisah anak The Story of Ferdinand adalah banteng cinta hening berhati lembut. Daripada bertarung melawan matador, ia menentukan menikmati aroma bunga. Di realita yang diselimuti prasangka dan amarah, kepribadian macam itu justru kerap dibenci. Jika dalam buku serta filmnya Ferdinand diasingkan oleh banteng lain, maka dunia faktual menjadi saksi buku buatan Munro Leaf ini sempat tidak boleh beredar. Terbit kala iklim politik tengah tak kondusif, sembilan bulan jelang Perang Sipil Spanyol melanda dan Hitler sedang berkuasa, bermacam-macam tuduhan dari fasisme, komunisme, hingga sosialisme pun dialamatkan.
Sindiran terhadap Nazi memang tampak pada penokohan tiga kuda: Hans, Klaus, dan Greta yang mempunyai nama sekaligus aksen Jerman, menganggap spesies mereka paling unggul. Tapi intinya, Ferdinand (baik versi buku maupun film) murni soal perdamaian, menjadi diri sendiri, juga bersikap baik tanpa pandang bulu. Barisan pesan yang sanggup diajarkan bagi anak di sela-sela gelak tawa mereka melihat Ferdinand (John Cena) terjebak dalam toko barang pecah belah, atau Maquina si banteng dengan gerak robotik dan bunyi kedipan mata yang terdengar kolam besi beradu (bisa ditebak namanya berasal dari "machina"). Untuk Maquina, tawa aku jauh lebih kencang ketimbang para bocah.
Ferdinand kecil yang kabur dari peternakan banteng demi menghindari hidup penuh kekerasan pasca ayahnya tewas di arena pertarungan, tumbuh besar dalam harmoni bersama Nina (Lily Day) dan ayahnya, dikelilingi bunga-bunga yang jadi benda favorit Ferdinand. Melalui montage singkat kita menyaksikan persahabatan berlandaskan cinta antar-spesies terjalin, walau bagaimana Nina mengetahui nama Ferdinand tak pernah terjawab. Tapi filmnya bergerak cepat, segera mengembalikan Ferdinand ke peternakan akhir suatu kecelakaan berujung kesalahpahaman, urung menyisakan waktu bagi kita memikirkan kejanggalan tersebut.
Meski waktu berlalu, namun kondisi peternakan tetap sama. Valiente (Bobby Cannavale) masih memusuhi, mencela keengganan Ferdinand bertarung, sementara banteng-banteng lain pun bertahan mengusung mimpi meraih kejayaan sebagai lawan tanding matador. Satu-satunya perubahan ialah bertambahnya jumlah binatang yang berjasa meramaikan suasana. Lupe si kambing betina mencuri perhatian berkat suara Kate McKinnon yang tepat mewakili kecacatan tokohnya, sedangkan trio landak, Una, Dos, Cuatro terampil mencuri benda-benda di sana. Jangan tanyakan keberadaan Tres. Mereka sudah memperingatkan kita.
Dengan abjad sekaya itu, sutradara Carlos Saldanha punya cukup modal merangkai kemeriahan kreatif. Ambil pola adegan dance battle yang bukan cuma perihal kekonyolan tingkah hewan, tapi pemanfaatan ciri masing-masing. Trio kuda dengan gaya elegan, Angus (David Tennant) dan sentuhan Skotlandia miliknya, hingga Maquina yang kembali mengocok perut melalui gerak robotik, membabat habis lagu Watch Me-nya Nick Jonas, memancing gadis kecil yang duduk di sebelah aku ikut menari penuh semangat. Sungguh pemandangan menyenangkan.
Ferdinand memang urung menyoroti ambiguitas etika terkait laga banteng di Spanyol, menentukan pendekatan bersenang-senang menyikapi aspek kulturalnya, ibarat dipertontonkan pada suatu adegan yang memparodikan parade Running of the Bulls. Tapi bukan masalah. Tidak semua animasi wajib menyusuri jalur kompleks sebagaimana Pixar supaya menjadi bagus. Terlebih dikala pelajaran berharga perihal kasih sayang sanggup dipetik oleh penonton anak, sementara kita, orang dewasa, dibentuk merenungkan "siapa monster sesungguhnya?" begitu titik puncak bergulir.