Gasing Tengkorak (2017)
Lupakan Pengabdi Setan yang sebentar lagi akan menggeser Jangkrik Boss! Part 2 dari puncak daftar film lokal terlaris 2017. Gasing Tengkorak, selaku film ketiga Jose Purnomo tahun ini sesudah Jailangkung dan Ruqyah: The Exorcism, adalah horor yang amat mewakili pengalaman hidup banyak penontonnya. Kenapa? Karena Jose bersama Baskoro Adi Wuryanto yang belakangan setia menulis naskah untuk filmnya, sukses memposisikan dongeng teror makhluk halus sebagai simbol bagi teror lain yang tak kalah mengerikan: penulisan skripsi! Mari kita bedah detailnya.
Ketika mengerjakan skripsi tentu kita pernah merasa sudah menuliskan seluruh poin penting, tapi hasilnya masih terlalu pendek dan tipis. Alhasil kita menentukan mengulang-ulang pokok bahasan, menambahkan hal-hal kurang penting, atau memanjangkan kalimat sampai berputar-putar. Demikianlah Gasing Tengkorak. Hanya berdurasi 80 menit dengan inti problem mungkin sanggup diselesaikan sekitar 15 menit. Menceritakan perihal Vero (Nikita Willy), seorang diva yang ingin mengasingkan diri di sebuah villa terpencil pasca pingsan mendadak kala konser. Suatu malam, ada sosok perempuan yang disalahartikan kedatangannya. Maksud hati ingin mengajak idolanya main gasing, dia dikira mengirim santet. Malang nian.
Tapi konflik itu gres tampil sesudah lewat 30 menit. Sebelumnya, kita dijejali penayangan langsung nan terselubung bagi extended trailer untuk Keeping Up with Nikita Willy plus promo villa. Menyaingi iklan apartemen Pantai Indah Kapuk yang dibawakan Feni Rose, filmnya memperlihatkan interior glamor serta eksterior dengan ragam akomodasi milik villa tersebut, ibarat kolam renang, balkon maha luas, sampai lapangan basket. Sementara Nikita sibuk bergaya di depan cermin kolam Krisyanto menyanyikan lagu Putri, merekam vlog, mencoba wig sembari berlenggak-lenggok, bermain PlayStation VR, dan berkelahi kecepatan melawan si perempuan gasing. Parahnya, walau menaiki sepeda, dia dikalahkan oleh si perempuan yang berlari. You need to workout more, dear.
Melanjutkan kaitan dengan skripsi, layaknya mahasiswa yang asal garap berujung kurang memahami hasil tulisannya, film ini menyalahi rule yang dibentuk sendiri. Sempat disebutkan (termasuk dalam mantra), begitu gasing berhenti berputar, hidup korban pun turut terhenti. Fakta di lapangan justru sebaliknya. Saat gasing berhenti, teror yang berhenti, bukan nafas Vero sebagaimana kemauan penonton...maaf, maksud saya si perempuan gasing. Bahkan, beberapa gangguan terjadi tanpa ada putaran gasing. Lalu teror macam apa yang menyerang dikala gasing tengkorak dimainkan? Rupanya hantu anak kecil berwajah tengkorak yang bergerak lebih lambat dibandingkan proses PDKT pria paling pemalu sekalipun.
Tanpa diduga, tanpa dinyana, pelanggaran rule di atas terjawab oleh suatu twist, yang lagi-lagi merupakan simbolisme sempurna target terhadap mahasiswa yang menggarap skripsi seenaknya tanpa mencar ilmu secara mendalam. Gasing Tengkorak menawarkan kejutan bermuatan psikologis yang selain salah kaprah menyikapi sebuah disorder, juga hadir mendadak tanpa memperhatikan kebijaksanaan alur. Ibarat skripsi dengan tujuan penelitian A, kemudian menghasilkan kesimpulan V. Atau latar belakang B, tapi yang diteliti S. Terdapat pula adegan menggelikan berupa pelaksanaan Tes Rorschach yang lebih terlihat ibarat kuis tebak gambar.
Nilai aktual layak diberikan pada beberapa set-up menjelang jump scare yang cukup efektif membangun kecemasan, sebelum kesudahannya sanksi teror berbasis hentakan imbas bunyi dan musik berisik merusaknya. Ah, maaf. Saya melantur. Tidak ada yang rusak dalam film ini. Sebaliknya, Gasing Tengkorak sanggup menjadi jendela realita yang teramat relevan, mengajak penonton melongok lebih jauh soal problematika pengerjaan kiprah selesai mahasiswa Indonesia. Sementara Nikita Willy yang seolah ingin mengambarkan pendewasaannya, tampil dengan performa yang tidak masuk kategori buruk.