Posesif (2017)
Posesif karya Edwin (Babi Buta Yang Ingin Terbang, Kebun Binatang) ialah drama romantis yang akan meruntuhkan, atau setidaknya menampar gagasan perihal "romantis" itu sendiri. Di mana kata "selamanya", alih-alih membuai justru menghasilkan teror yang berperan besar membentuk toxic relationship dalam percintaan kekinian. Sayang sekali harus ada kontroversi terkait 10 nominasi FFI yang dipandang banyak pihak (termasuk saya) tidak pantas. Padahal memandang kualitasnya, mau bertarung di FFI tahun berapa pun, takkan sulit bagi Posesif untuk menjadi unggulan.
Dipandu naskah Gina S. Noer (Habibie & Ainun, Rudy Habibie), film ini diawali layaknya romantika remaja Sekolah Menengan Atas kebanyakan. Lala (Putri Marino), siswi Sekolah Menengan Atas sekaligus atlet loncat indah peraih medali PON, menemukan cinta pertama begitu bertemu Yudhis (Adipati Dolken), sang siswa baru. Tapi dari situasi familiar itu pun kita langsung diperlihatkan kepekaan Edwin merangkai momen Istimewa berbekal kesederhanaan. Dari dialog pertama secara rahasia ketika Lala hanya sanggup melihat kaos kaki Yudhis di bawah meja, hingga "ikatan" yang terpaksa dijalin akhir eksekusi guru olahraga galak (Ismail Basbeth), bisa menghembuskan nyawa bagi benih asmara keduanya. Karena cinta tak melulu butuh nyanyian atau karangan bunga supaya bersemi.
Katanya, cinta butuh perhatian supaya bertahan. Perhatian itu sanggup diberikan Yudhis untuk Lala, yang di waktu bersamaan merasa dinomorduakan oleh sang ayah (Yayu Unru) yang juga pelatihnya. Namun lama-kelamaan, perhatian itu berubah jadi kekangan. Yudhis membatasi kegiatan Lala, menjajah ruang privasinya, bahkan mempersulitnya sekedar bergaul dengan para sahabat. Yudhis bersikap posesif, malah cenderung abusive. Pertanyaannya, apakah sebutan itu hanya pantas dialamatkan padanya seorang? Apakah ayah Lala dengan tuntutan supaya sang puteri berprestasi di loncat indah, ibu Yudhis (Cut Mini) yang memaksa puteranya meneruskan tradisi keluarga, atau bahkan pihak sekolah beserta bermacam-macam hukum seragamnya juga layak dikategorikan posesif?
Secara tersirat tetapi tegas, skrip Gina S. Noer menyatakan sikap posesif bukan pribadi terjadi dalam pacaran apalagi di kalangan milenial belaka. Konsep posesif dipaparkan sebagai hasrat fundamental insan mengatur seseorang yang dirasa berharga, dimiliki, atau di bawah kendali, tidak peduli siapa dan umur berapa. Terkait toxic relationship antara dua tokoh utama, naskahnya menolak memakai alur fantastis. Semua berjalan linier, tanpa kejutan, tanpa tikungan mendadak. Fokus dialamatkan pada galian psikis mendalam soal penokohan termasuk motivasi mereka.
Mudah menghakimi Yudhis yang mengekang, lalu melaksanakan kekerasan. Namun Posesif menyelam lebih jauh, menelusuri penyebab yang karenanya menciptakan kata "mudah" tak lagi sempurna digunakan menyikapi kasus tersebut. Demikian pula mengenai Lala yang berusaha mendapatkan sikap sang kekasih, juga tindakan mengatur ayah dan ibu masing-masing. Segalanya tetap tak bisa dibenarkan, tapi Posesif mengajak penonton memahaminya supaya terhindar dari sikap judgemental. Sebab soal psikis memang kompleks dengan judgemental selaku musuh terbesarnya.
Demi observasi mumpuni, pondasi naskah perlu didukung penampil yang tidak kalah kuat. Adipati Dolken memastikan huruf Yudhis mempunyai pesona yang bisa mengambil hati Lala, sembari menebar kengerian dari tatapan mata penuh kebencian pun secara bersamaan menyiratkan derita. Ditambah lagi emosi fluktuatif yang pastinya menuntut jangkauan akting lebar. Putri Martino jadi tandem sepadan, piawai memberikan kegelisahan remaja di tengah ombang-ambing menuju pintu pendewasaan. Jangan lupakan pula betapa ia meyakinkan memerankan juara loncat indah. Sedangkan Yayu Unru menjaga supaya simpati penonton tidak menjauh, menegaskan sosok ayah Lala sekedar kurang lancar memberikan rasa sayangnya ketimbang seorang diktatorial bengis.
Edwin sang sutradara sendiri turut bertransformasi. Sebagai veteran arthouse tanah air, dibawanya bekal-bekal yang cocok, menyerupai pertunjukan gambar anggun dibantu sinematografi garapan Batara Goempar (Aach...Aku Jatuh Cinta) hingga keengganan menerapkan trik dramatisasi murahan menyerupai musik bergelora asal masuk. Justru menarik mendapati beberapa kombinasi visual artsy dengan lantunan lagu terkenal macam Dan dari Sheila on 7 atau No One Can Stop Us-nya Dipha Barus. Manis nan ringan di luar, mencengkeram sekaligus bernyawa di dalam. Posesif bagai pernyataan dari Edwin bahwa film berkualitas tak perlu pretensius.