One Fine Day (2017)
Bertaburan bintang idola kaum remaja, mengusung tumbuhnya asmara di setting luar negeri, masuk akal apabila banyak pihak skeptis akan produksi teranyar Screenplay Films ini. Terlebih Asep Kusdinar juga Tisa TS masing-masing tetap ada di bangku sutradara dan penulis naskah. Tidak dapat disalahkan. Itulah formula kemenangan yang menghasilkan dua film dengan jumlah penonton di atas sejuta. Andai berubah pun sifatnya takkan ekstrim dan tiba-tiba. Namun dikala beberapa bulan kemudian Promise "hanya" meraih sekitar 655 ribu penonton, terendah dibanding film Screenplay lain, sedikit modifikasi rasanya perlu, dan One Fine Day melakukan itu.
Kini giliran Barcelona menjadi panggung sewaktu Mahesa (Jefri Nichol), musisi amatir sekaligus penipu ulung pemeras uang wanita-wanita yang dipacarinya, bertemu Alana (Michelle Ziudith). Praktis bagi Alana menyukai Mahesa yang hangat nan romantis mengingat perilaku posesif sang kekasih, Danu (Maxime Bouttier) yang hingga mengirim bodyguard untuk mengawalnya ke mana saja. Berikutnya dapat ditebak, One Fine Day berkutat pada cinta segitiga, tepatnya pertarungan Danu si kaya yang sombong melawan Mahesa yang apa adanya tapi penuh kebebasan. Sesederhana itu.
"Sederhana" sebetulnya kurang pas disematkan bagi karya Screenplay, pun One Fine Day yang diisi jalan-jalan mengelilingi Barcelona. Namun ketimbang judul-judul sebelumnya, film ini tak lagi disusun oleh barisan kutipan "romantis". Sesekali kalimat bernada puitis terucap tapi dalam kadar normal. Meski harus diakui, jalinan asmaranya tetap bergulir dangkal di mana kebahagiaan identik dengan montage jalan-jalan ditemani lagu Te Amo Mi Amor sambil memaksakan Alana (si pencari kebahagiaan) tertawa menanggapi apapun tingkah Mahesa (si pemberi kebahagiaan).
Setidaknya dibandingkan Promise atau dwilogi London Love Story, glamoritas berupa mengendarai kendaraan beroda empat glamor di luar negeri atau berkencan di restoran mahal bukan pondasi. Didorong pemanfaatan tepat setting di mana kemeriahan kultur serta musik menghadirkan tarian kegembiraan, kedua tokoh utama tampak murni mencari cinta. Kali ini setting luar negeri bukan sekedar memfasilitasi hedonisme karakternya, melainkan perjuangan mereka mengejar kebahagiaan. Hal ini didukung pula oleh sosok Mahesa yang dari luar tak sesempurna protagonis laki-laki lain milik Screenplay.
Jefri Nichol terperinci piawai melakoni tugas bad boy, walau resiko typecast perlu ia perhatikan demi daya tahan karirnya. Satu detail yang agak mengganggu yaitu dikala Nichol beberapa kali bermain gitar tanpa memindahkan kunci. Sementara Michelle Ziudith dengan tangisannya pasti bakal gampang menciptakan penonton dewasa ikut berurai air mata. Walau cukup disayangkan, penokohan Alana yang cenderung pasif kurang memberinya kesempatan unjuk gigi keahlian mencuri perhatian sebagai gadis bersemangat. Padahal tukar barang sindiran antara Ziudith dan Nichol bakal memberi nyawa lebih untuk percikan asmara filmnya.
Kembali menyoal penyederhanaan, menentukan tidak lagi memaksakan keberadaan diam-diam atau twist "besar" yang senantiasa jadi "penyakit" Screenplay terperinci nilai tambah dalam One Fine Day. Pergerakan alur pun berakhir lebih lancar, tanpa terbebani pengungkapan kejutan tak masuk logika selaku konklusi. Lupakan keraguan sembari menyadari tujuan serta sasaran pasar filmnya, maka anda akan menemukan One Fine Day sebagai rilisan terbaik Screenplay Films sejauh ini.