The Lego Ninjago Movie (2017)
Ninja itu keren, begitu pun mecha. Ketika Lego, yang notabene juga digemari menggabungkan keduanya, garansi kesuksesan terang didapat. Melahirkan lebih dari 100 set serta tujuh ekspresi dominan penayangan serial televisi Lego Ninjago: Masters of Spinjitzu adalah bukti nyata. Bicara sisi komersial, pembiasaan layar lebar selaku installment ketiga seri film lego ini rasanya bakal bernasib serupa. Sedangkan soal kualitas, baik The Lego Movie maupun The Lego Batman Movie sama-sama berkelas, khususnya berkat humor yang cerdas memainkan kata, menyelipkan budaya populer, hingga lawakan meta. Digawangi oleh tiga sutradara plus enam penulis naskah, The Lego Ninjago Movie berusaha keras menggandakan pencapaian para pendahulunya.
Itu yang nampak semenjak menit pertama, ketika menampilkan insan sungguhan dalam wujud pemilik toko benda antik (Jackie Chan) yang menceritakan kisah kepahlawanan Lloyd Garmadon (Dave Franco) pada seorang bocah. Kecuali memberi panggung bagi Chan serta menyiratkan keterlibatan seekor kucing, substansi adegan pembuka ini layak dipertanyakan. Setelah memasuki dunia animasi, kemeriahan eksklusif menyambut kala mecha milik keenam ninja, Lloyd, Kai (Michael Pena), Jay (Kumail Nanjiani), Nya (Abbi Jacobson), Cole (Fred Armisen) dan Zane (Zach Woods) bertempur melawan pasukan Lord Garmadon (Justin Theroux).
Kekacauan dan keabsurdan serupa tapi tanpa daya setara. Bukan semata duduk perkara sudah familiar The Lego Batman Movie tetap segar melainkan sebab keenam penulis menyalin mentah-mentah formula kesuksesan film sebelumnya, melemparkan sebanyak mungkin acuan budaya terkenal hingga permainan kata sambil berharap ada yang kena sasaran. Hasilnya inkonsisten. Sesekali ada kelakar pintar, walau lebih banyak bahan medioker, klise, nan predictable misal ungkapan "it's a smash!" dari Cole ketika mecha miliknya yang dimotori turntable menghancurkan musuh. Pendekatan "quantity over quality" untuk balutan komedi meniadakan pesona The Lego Ninjago Movie.
Visualnya masih memanjakan mata, termasuk desain mecha yang menarik hati untuk merogoh kocek dalam-dalam guna mengoleksinya. Sayangnya kreativitas segenap tim sutradara beserta penulis naskah menyikapi abjad dan setting yang tersusun atas setumpuk lego hanya sebatas hal dasar menyerupai memasang kaki Garmadon ke kepala Master Wu (Jackie Chan). Sisanya, untuk kali pertama dalam franchise-nya, gelimang lego-lego dibiarkan tersia-sia, sebatas hiasan warna-warni. Imajinasi terliar justru muncul ketika kucing orisinil menghancurkan kota jawaban terpancing sinar laser. Momen lucu sekaligus aneh yang jarang terulang.
Porsi drama tetap mengandung pesan, kali ini seputar jati diri dan hubungan ayah-anak. Kental akan acuan Star Wars mengenai seorang anak bertarung menumpas kejahatan sang ayah yang melibatkan ajun yang terputus, dinamika Lloyd-Garmadon mencapai titik unik begitu dipaksa bekerja sama, mengesampingkan ego sambil menyambung ulang ikatan antara keduanya. Namun tatkala Garmadon dengan segala rasa galau akan kiprah sebagai ayah memberi twist menarik, tidak demikian pada Lloyd yang sulit mencuri hati. Apalagi di antara riuh rendah kekacauan aksinya, The Lego Ninjago Movie kurang menyisihkan waktu menangani kompleksitas duduk perkara si protagonis.
Tapi Lloyd lebih beruntung daripada kelima rekannya, di mana kecuali ragam bentuk mecha keren, mereka nampak serupa satu sama lain. Zane si robot cukup menonjol tindak-tanduknya, namun bicara kepribadian, kelimanya sulit dibedakan, sekedar tampil di sentra petualangan tanpa melaksanakan hal berarti. Apabila The Lego Batman Movie merupakan versi alternatif atau parodi bagi Batman, The Lego Ninjago Movie adalah hal yang sama untuk ninja. Demikian semestinya, hingga film berakhir, dan para ninja lebih banyak mengandalkan mecha ketimbang ilmu bela diri khasnya. Jurus Spinjitzu yang melibatkan elemen alam masing-masing pun sekedar sekilas mengisi di penghujung durasi tanpa kesan.