Thor: Ragnarok (2017)
Plot-wise, Thor: Ragnarok punya kisah tipis. Ini bukan intrik politik layaknya The Winter Soldier, bukan drama transformasi aksara serupa Iron Man, bukan pula shakesperian soal perebutan tahta kerajaan macam Thor pertama meski hal itu memegang peranan penting dalam konflik utama. Ragnarok adalah komedi yang bersembunyi di balik spectacle seharga $180 juta. Kelompok oposisi MCU akan bahagia hati mencaci bersenjatakan pernyataan "tiada kesan mengancam di filmnya". Karena di Ragnarok yang sejatinya mengandung kisah kelam, canda tawa selalu dikedepankan.
Kali ini Thor (Chris Hemsworth) mesti menghentikan Ragnarok, yakni "akhir segalanya", serta menghadapi Hela (Cate Blanchett), Dewi Kematian yang berusaha merebut tahta Asgard. Tentu perjalanan sang Dewa Petir tak mudah. Selain Mjolnir-nya dihancurkan oleh Hela, ia juga terdampar di Planet Sakaar yang dikuasai The Grandmaster (Jeff Goldblum), dan terpaksa mengikuti kontes ala Gladiator melawan Hulk (Mark Ruffalo). Lagi-lagi budi bulus Loki (Tom Hiddleston) pun ikut menghalangi. Di antaranya, sutradara Taika Waititi masih sempat menghadirkan adegan Thor melihat penis Hulk hingga istilah "devil's anus" bagi suatu portal antar dimensi.
Fakta bahwa Thor: Ragnarok setia bercanda walau diisi hancurnya senjata si jagoan, tokoh Dewi Kematian yang melaksanakan pembantaian, dan kiamat, justru membuatnya spesial. Perlu disadari, dunia kawasan kita tinggal kini tak lagi abnormal dengan semua itu, dan Waititi bersama Eric Pearson selaku penulis naskah seolah menyediakan penonton kawasan berlindung berupa dunia fantasi di mana sederet dilema tadi sanggup diselesaikan, bahkan ditertawakan. Meski sulit disangkal keputusan tersebut melucuti bobot Hela, sebatas menjadikannya villain menghibur berkat pesona Blanchett daripada sosok penebar bahaya dahsyat.
Komedinya memang pantas jadi sajian utama. Alasan mengapa alumni sinema independen macam Waititi maupun James Gunn cocok menahkodai film Marvel tak lain kreativitas mereka melontarkan lelucon. Di tangan Waititi, nyaris segala situasi dan aksara punya kebodohan, tak terkecuali perempuan setangguh Valkyrie (disokong penampilan gemilang Tessa Thompson) yang kegemaran mabuknya kerap menghasilkan tingkah jenaka. Sisanya adalah gelaran slapstick tepat waktu hingga anomali berupa sifat kekanakan Hulk, atau Korg (diperankan Waititi sendiri) dengan badan besar nan kokoh dari kerikil tetapi baik hati pula bersuara "lembut". Beberapa cameo pun dimanfaatkan sebaik mungkin, mulai Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang ilmu sihirnya merepotkan Thor dan Loki, hingga sosok kejutan pada suatu drama panggung di Asgard.
Chris Hemsworth yang selama ini bagai terkekang, terkubur daya tarik Loki di dua film pertama kini terfasilitasi potensi komikalnya. Hemsworth jadinya bersinar di filmnya sendiri, menghadirkan Thor yang di satu waktu perkasa menghantam ratusan anak buah Surtur, tapi di kesempatan lain memancing tawa ketika memohon-mohon semoga rambutnya tak dipangkas. Hebatnya, Thor tidak berakhir sebagai produsen tawa saja, alasannya ialah Ragnarok sukses melaksanakan hal penting yang gagal dicapai pendahulunya termasuk dua installment Avengers, yaitu mematenkan Thor sebagai "Dewa Petir" alih-alih "Dewa Martil". Sesuai hakikat babak pamungkas sebuah trilogi, Ragnarok menyempurnakan perjalanan protagonisnya.
Terdapat kekhawatiran Ragnarok berusaha terlampau keras menjiplak Guardians of the Galaxy. Benar warna mencolok tampil mayoritas namun penggunaannya berbeda. Dibantu sinematografi Javier Aguirresarobe, warna vibrant plus tata artistik out-of-this-world Waititi pakai demi mengolah nuansa fantasi bercampur sci-fi 80-an ala Flash Gordon di mana pemandangan naga terbang di langit jingga (dan ungu) jadi hal biasa. Waititi bersenang-senang menggarap adegan berbalut musik synth catchy garapan Mark Mothersbaugh (sebenarnya sanggup lebih ditonjolkan) juga Immigrant Song-nya Led Zeppelin yang tak ubahnya cue bagi agresi keren yang segera menghentak. Alangkah bijaknya, kita selaku penonton turut karam dalam kesenangan serupa tanpa menagih keseriusan maupun kekelaman yang tidak wajib ada.