Tokyo Ghoul (2017)
Transformasi protagonis menjadi spesies yang dianggap mematikan untuk kemudian menyadari ada perspektif lain, bahwa mereka sekedar berusaha bertahan hidup, dan insan nyatanya tidak kalah berbahaya bukan premis baru. Tapi dengan perlakuan tepat, kisah thought-provoking dapat dihadirkan. Tokyo Ghoul selaku pembiasaan manga berjudul sama buatan Sui Ishida punya konsep serupa, dan sutradara Kentaro Hagiwara pun nampak berusaha keras menggiring filmnya ke nuansa serius, kelam, cenderung kontemplatif ketimbang memberatkan bobot agresi berbalut fantasi. Di antara setumpuk pembiasaan live action "hura-hura" nan absurd, ini termasuk niat baik, meski bukan sepenuhnya keputusan tepat.
Sekilas Ghoul tampak ibarat insan biasa. Namun di balik itu, mereka merupakan predator pemangsa manusia, berwujud mengerikan dengan mata merah menyala serta organ di pecahan belakang badan sebagai senjata, yang disebut "Kagune". Bentuk Kagune tiap ghoul berlainan, dari ekor tajam, sayap, hingga tentakel. Memiliki makhluk sedemikian asing membuka opsi luas bagi eksplorasi, bisa dark fantasy, creature horror, atau bibit unggul keduanya. Toh Hagiwara menentukan drama pergolakan jati diri, khususnya di paruh awal tatkala kencan harapan Ken Kaneki (Masataka Kubota) berujung kecelakaan, dan ia harus mendapatkan transplantasi organ milik ghoul. Ken yaitu satu-satunya sosok setengah-ghoul/setengah-manusia.
Tokyo Ghoul cukup melelahkan di sekitar 45 menit pertama. Pergulatan Ken, bahkan dua kali serangan ghoul Hagiwara kemas memakai tempo lambat menjurus menyeret. Adegan yang berlangsung terlampau panjang hingga kehilangan momentum maupun layar statis tak perlu sebelum transisi jadi penyebab. Sah-sah saja menghadirkan drama kental perenungan, tapi film ini menyimpan kekayaan potensi terkait detail kehidupan ghoul, dan alih-alih segera membawa Ken ke bulat tersebut, Hagiwara betah menetap di kesulitan sang protagonis menahan memangsa manusia, yang kurang menarik akhir disusun atas keklisean erangan demi erangan Ken.
Padahal begitu tokoh utama kita bersinggungan dengan Anteiku, kelompok pemilik cafe sekaligus dukungan diam-diam bagi ghoul, daya tarik mulai mencuat berkat konflik yang bertambah kompleks ditambah Ken yang semakin likeable. Apalagi Masataka Kubota bermain apik ketika bertransformasi secara lembut namun meyakinkan dari sosok introvert canggung menjadi lebih damai pula kokoh. Terlihat dari kesanggupannya lancar berinteraksi dengan Touka (Fumika Shimizu) atau menghadirkan rasa kondusif bagi Hinami (Hiyori Sakurada) kala ia dan sang ibu diburu oleh CCG (Commission of Counter Ghoul). Dua hal itu takkan bisa Ken lakukan sebelumnya, bukti kejelian naskah terkait detail-detail penguat penokohan.
Naskahnya juga cukup solid dalam memancing pemikiran soal saling buru (dan bunuh) insan dengan ghoul. Tokyo Ghoul menyiratkan skenario bagaimana jikalau aturan rimba diterapkan di dunia manusia, di mana saling bunuh yaitu kewajaran, bahkan keharusan, semoga bertahan hidup. Persoalan yang amat kompleks, dilematis, terlebih begitu kita diajak memahami sudut pandang kedua sisi, walau begitu film berakhir, sulit menepis anggapan bahwa Tokyo Ghoul sebatas prolog untuk tabrakan lebih dalam pula emosional antara ghoul dan manusia, dengan Ken dan Amon (Nobuyuki Suzuki), anggota CCG yang memendam kepahitan masa lalu, sebagai perwakilan terdepan masing-masing pihak.
Sederet pertarungan bersenjatakan kagune selalu menyenangkan disimak, membangkitkan kegirangan masa kecil melihat kecacatan fantasi imajinatif pernak-pernik bernuansa monster. Namun daya tariknya lebih disebabkan desain, sementara penggarapan ala kadarnya dari Hagiwara urung mendukung kapasitas visual itu. Dalam menciptakan film bernuansa fantastis sang sutradara menolak bersenang-senang, ngotot menonjolkan keseriusan gelap yang semakin terasa dipaksakan kala enggan mengindahkan cue komedi naskah, membiarkan amunisi humor yang sanggup menghembuskan komplemen energi berlalu datar. Rasanya canggung menemukan hal menggelitik, bersiap tertawa, hanya untuk mendapatinya numpang lewat. Pengadeganan Hagiwara tidak cukup dinamis sebagai aksi/fantasi, kurang mengerikan sebagai horor walau dihiasi gore.