A Ghost Story (2017)
Hantu atau arwah ingin tau selalu identik dengan aroma mistik, hal gaib yang tidak kita pahami sehingga kita takuti. Tapi ibarat banyak kepercayaan, David Lowery (Ain't Them Bodies Saints, Pete's Dragon) mengakibatkan hantu selaku roh orang mati yang tertahan di alam kehidupan, berkeliaran mengamati sosok tercinta yang ditinggalkan. Lewat A Ghost Story, David Lowery memposisikan penonton di perspektif hantu, menghilangkan sekat kedua alam, membuatnya terasa familiar. Film ini mengundang pertanyaan soal keberadaan serta kerelaan yang tak mengenal batasan ruang dan waktu, Khususnya bagi orang ibarat saya yang percaya ada fase pasca maut dikala arwah singgah dahulu di dunia.
Wajib diketahui bahwa A Ghost Story bukanlah horor, setidaknya bukan horor konvensional di mana kengerian takkan timbul seketika, tetapi begitu usai dan mata berpaling dari layar, gambar-gambar creepy nan konkret sesosok hantu di balik seprai dengan dua lubang mata mulai termanifestasi kemudian menghantui. Sebelum itu, kita diajak dulu mengamati kekerabatan suami istri, C (Casey Affleck) dan M (Rooney Mara) yang bergejolak. M ingin segera pindah rumah, sedangkan C ngotot bertahan. Masalah ini urung menemukan titik terang, lantaran C keburu tewas dalam kecelakaan mobil. Menjadi hantu, C kembali ke rumah, melihat perjuangan M (dan kehidupan itu sendiri) melangkah maju.
Lowery menggunakan gaya meditatif melalui tempo lambat pun kamera statis yang kerap berdiam usang di satu poin. Metode ini terangkum dalam momen yang ramai dibicarakan kala pemutaran perdana di Festival Sundance Januari lalu, yakni ketika M memakan pie sehabis pemakaman sang suami selama lima menit tanpa putus. Hendak menekankan duka, kesan pretensius sulit dihilangkan pada adegan ini. Penonton perlu waktu mengobservasi, namun tidak selama itu, yang justru mengikis momentum memuncaknya emosi. Adegan tersebut merupakan penentu apakah penonton menentukan menyerah, atau bersabar dan melanjutkan. Kesabaran bakal memberi ganjaran setimpal begitu tuturan pelan Lowery bermetamorfosis jadi puisi personal wacana legacy, eksistensi, memori, cinta juga ruang personal berjulukan "rumah".
Aspek rasio 1:33:1 yang Lowery pakai demi mewakili terjebaknya tokoh utama dalam keabadian meski tidak seutuhnya efektif, bisa membingkai gambar amat bagus dengan sentuhan warna lembut cenderung suram. Perjalanan tanpa batas C di balik balutan seprai memang demikian, seringkali menyedihkan namun menyimpan makna indah pula mendalam, yang emosinya berkulminasi di paruh tamat yang memunculkan harapan mendekap erat orang tercinta, memanfaatkan waktu bersama sebaik-baiknya selagi mampu.
Casey Affleck lebih banyak menghabiskan waktu tertutup kain putih dengan pergerakan minimal guna menyiasati alasan teknis (supaya posisi mata tidak berubah), otomatis jangkauan aktingnya pun terbatas, walau ibarat biasa tatapan sendunya menghanyutkan. Sementara Rooney Mara menyuntikkan bobot di tengah diamnya M. Sepeninggal sang suami, mulutnya terkatup rapat, tetapi kesedihan, kerinduan, bahkan penyesalan tampak terang berkecamuk di hatinya. Diiringi musik Daniel Hart yang sesekali atmosferik dan misterius, sesekali manis pun hangat, sesekali mengangkat kita ke awang-awang, biarpun M dan hantu C berhenti menjalin interaksi langsung, koneksi batin nyatanya besar lengan berkuasa terjaga.
Meski menolak memperhatikan hukum main terkait sosok hantunya (apa yang sanggup dilihat, disentuh, dan lain-lain) yang mana beliau akui sendiri, Lowery terang berhasil menyuguhkan penemuan sebagai bukti bahwa ide-ide segar, orisinal, juga unik masih bertebaran di luar sana. Harus diakui pendekatan Lowery di A Ghost Story adalah uji ketahanan dengan segmentasi penonton terbatas, tapi jikalau anda berhasil melaluinya, sungguh besar hadiah yang menanti di ujung perjalanan. Inilah bagaimana seharusnya sinema arthouse dibuat, sebagai media mempercantik ekspresi rasa ketimbang menahannya.