-->

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

It Comes At Night (2017)

Arthouse horror, hipster horror, atau menyerupai disebut Steve Rose dari The Guardian, post-horror (apalah arti istilah?) semakin mencuat belakangan ini. Judul-judul macam The Witch dan Under the Skin bisa tergolong spesies tersebut, di mana tempo lambat, mengutamakan atmosfer, bahaya tak kasat mata daripada jump scare, cerita metaforikal, ialah beberapa kriteria penyusun. It Comes at Night buatan Trey Edward Shults (Krisha) pun serupa, berusaha memancing ketakutan dari alam pikiran alih-alih indera penglihatan. Pendekatan yang membelah opini kritikus dan penonton biasa, mengacu pada perbandingan skor Rotten Tomatoes (88%) dan Cinemascore (D). 

Sebagaimana komedi tergantung selera humor, efektivitas horor tidak terlepas dari apa yang masing-masing penonton takuti. Pengalaman sampai aspek kultural berperan besar. Contohnya, meski sama-sama found footage, keranda mayit di Keramat jauh lebih mencengkeram dibanding selimut terbang Paranormal Activity, alasannya ialah itu termasuk kepercayaan gaib kampung saya. Dalam kasus It Comes at Night, Shults menjadikannya lahan katarsis pasca sang ayah meninggal, yang selain membawa duka, mendorong kontemplasi soal simpulan hidup itu sendiri, bahwa hidup itu fana, dan rasa takut terhadapnya menyebabkan imbas domino berupa kecemasan, ketidakpercayaan, menutup diri, paranoia, lalu kehilangan hati. 
Bagi Shults semua itu menyeramkan, dan tokoh-tokohnya, keluarga kecil yang berisi Paul sang ayah (Joel Edgerton dengan jenggot acak-acakan serta tatapan pilu, mampu mendapatkan amanah sebagai representasi sisi suram manusia), Sarah sang ibu (Carmen Ejogo), serta si putera tunggal yang masih remaja, Travis (Kelvin Harrison Jr.), mencicipi hal sama sehabis penyakit misterius mewabah. Skala, penyebab, dan metode penularan tak pernah dijelaskan, pastinya, penyakit ini memaksa Paul menembak mati ayah mertuanya, Bud (David Pendleton) yang terjangkit. Demi keamanan, Paul menyegel seluruh rumah, menciptakan sederet peraturan termasuk pelarangan keluar rumah kecuali terpaksa dan harus mengenakan masker. Sampai suatu malam, seorang laki-laki berjulukan Will (Christopher Abbott) menerobos masuk. 

It Comes at Night didominasi pemandangan Travis berjalan di koridor gelap hanya ditemani lentera selaku perwakilan isi pikiran Shults, atau lebih tepatnya mimpi jelek sang sutradara. Ketakutan, penyesalan, kecemasan, hasrat terpendam, bercampur aduk. Pergerakan lambatnya bagai uji ketahanan bagi penonton, namun tidak draggy, seperlunya, pula didukung fakta durasi film hanya 91 menit. Dan tatkala tiba waktunya intensitas sedikit ditingkatkan, walau minim di kuantitas, tidak dengan kualitas. Di paruh awal, pada proses menuju kedatangan mendadak Will, Shuls menunjukkan pembangunan ketegangan kelas satu, yang kerap dilupakan banyak sineas arthouse horror, mencuatkan potensi kalau kelak ia beralih ke mainstream horror.
Diawali close-up ke arah lukisan ditemani gemuruh musik atmosferik Brian McOmber. Lalu musik meredup sampai samar, kamera berpindah pelan menyoroti lorong gelap seiring langkah kaki hati-hati Travis yang memasuki kamar sang kakek, sebelum Shuls mengejutkan kita dengan satu-satunya jump scare nyata di film ini yang disusun oleh gambar mengerikan plus imbas bunyi mencekam. Saat jantung penonton tengah terpacu, adegan eksklusif berpindah cepat ke sekuen kehadiran Will, menjaga stabilitas intensitas di titik puncak. Rangkaian adegan tersebut menawarkan pemahaman Shuls akan fase psikis terciptanya ketegangan dan rasa takut, yang sayangnya enggan ia ulangi.

Jangan harap It Comes at Night menjawab segenap pertanyaan anda. Ini ialah film yang berpijak pada asas "good movie equals less explanation" dan "the less the audience know, the scarier". Bukan kekeliruan, hanya saja untuk konteks film ini, ketiadaan tanggapan kerap terjerumus dalam kesan perjuangan rahasia menjadi pretensius berkedok dua asas di atas. Juga kolam pemberi jalan Shuls berbuat semaunya, sebebas mungkin menumpahkan misteri tanpa perlu repot memutar otak mencari jawaban. Misalnya terkait seringnya masker dilepas walau para tokoh takut setengah mati terserang penyakit. Bukankah lebih kondusif kalau masker terus digunakan selain di sekitar penderita? Dengan menolak menjelaskan detail wabahnya, Shuls terhindar dari kewajiban menjawab lubang tersebut. Still a fascinating labyrinth, though.

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel