Nyai Ahmad Dahlan (2017)
Entah sudah berapa kali saya menuliskan perihal terlampau sibuknya film religi negeri ini berceramah hingga lupa akan esensinya sebagai film itu sendiri yang perlu memperhatikan tata penceritaan, naskah, akting, pun aspek sinematik lain. Walau banyak suguhan religi yang jauh lebih menggurui dalam tuturan pesannya, Nyai Ahmad Dahlan termasuk produk langka, di mana keseluruhan alur bagai kompilasi pesan agama yang disatukan. Naskah Dyah Kalsitorini (Surga Menanti) secara literal menyebabkan tiap momen sebagai ceramah agama, seolah lupa sedang mengisahkan hidup seseorang. Sosok penting berjulukan besar, namun tetap insan biasa dengan ragam persoalan.
Sejak momen pertama, Nyai Ahmad Dahlan langsung melempar gagasan mengenai hak semua orang, tak terkecuali perempuan dan belum dewasa memperoleh pendidikan umum serta Islam. Digambarkan pula, kesadaran atas problematika itu telah tumbuh dalam diri Walidah (Tika Bravani) semenjak kecil. Menuruti usul kedua orang tuanya, ia menikahi KH Ahmad Dahlan (David Khalik) yang ketika itu sudah terpandang sebagai pemuka agama. Nyai Walidah pun mulai dipanggil Nyai Ahmad Dahlan, perempuan yang getol memperjuangkan hak perempuan mencar ilmu mengaji, hingga mendirikan 'Aisyiyah selaku organisasi perempuan pendamping Muhammadiyah.
Jangan dulu bicara perihal penceritaan, sebab sedari awal ada poin yang tidak kalah mencuri perhatian, yaitu tata suara. Musik garapan Tya Subiakto berwujud orkestra megah yang gemar menggelegar kemudian mencapai titik puncak beberapa menit sekali. Sedikit saja emosi huruf bergejolak atau tensi adegan meningkat, musik seketika memuncak. Tapi perkara utama bukan pada musik. Toh kalau didengar terpisah, karya Tya lezat didengar. Persoalannya di sound mixing. Tanpa sensitivitas, volume musik membesar bersamaan dengan meningkatnya tensi pembicaraan. Anda pernah kesulitan mendengar bunyi lawan bicara di tengah berlangsungnya konser musik dengan penonton yang riuh bernyanyi bersama? Begitulah kualitas suaranya.
Kembali ke jalannya cerita. Ketimbang memanusiakan Nyai Ahmad Dahlan beserta segala kelebihan dan kekurangan, naskahnya memposisikan sang titular character layaknya jukebox. Bedanya, bukan musik yang keluar melainkan kutipan ayat Al Qur'an, metafora pesan moral, atau pembacaan kisah Rasul. Sesekali kiprah berpindah, giliran KH Ahmad Dahlan yang berceramah. Tetapi pada dasarnya sama: pesan tanpa jeda. Tentu ada konflik khususnya menyinggung hak wanita, namun lagi-lagi sekedar jalan menyalurkan kata mutiara. Berujung dikorbankan justru sederet tuturan penting yang lalai dijabarkan, sebutlah bahaya kolonialisme hingga detail perselisihan akhir fatwa Ahmad Dahlan dipandang menyimpang.
Daripada menggali lebih dalam, Nyai Ahmad Dahlan memilih menetap di rapat demi rapat, pengajian demi pengajian, sambil sesekali memberi eksposisi ala kadarnya seputar ragam tabrakan tadi maupun kejadian penting melalui sebaris teks pendek atau ucapan ekspresi sambil lalu. Nyaris nihil momentum menarik ditampilkan. Malah mendekati penghujung, demi menunjukkan Nyai Ahmad Dahlan tetap ingat kiprah sebagai istri meski disibukkan tetek bengek organisasi, fokus berubah menyoroti kesehariannya merawat sang suami hingga selesai hidup tiba. Bisa saja tercipta drama emosional andai mengalir rapi, bukan potongan-potongan adegan yang ditempel paksa lewat penyuntingan lompat-lompat nan kasar. Paling mendekati keberhasilan menggetarkan rasa justru ketika seorang perempuan nembang (bernyanyi). Pun sebab kehebatan si aktris, bukan didorong pengadeganan solid.
Muncul sumbangan di beberapa aspek. Sinematografi Zeta Alpha Maphilindo bersama pewarnaan yang diemban tim Super 8mm Studio (Ziarah, Another Trip to the Moon) menghasilkan perpaduan warna serta pencahayaan yang lezat dipandang. Begitu pula akting dua pemain drama utama. Tika Bravani menghidupkan keteguhan di balik tutur lembut Nyai Ahmad Dahlan walau performanya terganjal kala tokohnya memasuki usia lanjut akhir riasan jelek ditambah gerak, gaya bicara, juga ekspresi dibuat-buat demi menyiratkan penuaan. David Chalik cukup meyakinkan bermain emosi meski bakal agak sulit membedakan Ahmad Dahlan versinya dengan huruf kiai di kebanyakan film lokal berlatar masa lalu. Film ini sedikit terselamatkan. Dari biografi kacau tanpa peduli asas storytelling, jadi biografi amat membosankan yang setidaknya digarap sungguh-sungguh.